Penulis:Liliyana Amsir
Seperti angin, menghembuskan kesejukan lalu berlalu begitu saja. Seperti hujan, memberikan ketenangan namun hanya sesaat. Seperti pelangi, mengahdirkan keindahan namun tak bertahan lama. Seperti itu kehidupan yang kujalani. Penuh tantangan dan air mata.
Seperti angin, menghembuskan kesejukan lalu berlalu begitu saja. Seperti hujan, memberikan ketenangan namun hanya sesaat. Seperti pelangi, mengahdirkan keindahan namun tak bertahan lama. Seperti itu kehidupan yang kujalani. Penuh tantangan dan air mata.
“Nita, lo mau ikut kita ke Mall
nggak. Katanya disana ada diskon besar besaran loh!” kata vio sahabatku.
“ia, lo ikut aja nit. Nggak bosen
apa kampus, kos, kampus, kos. Lo juga perlu hiburan kali nit” kali ini fika
yang bicara.
Biar kukenalkan. Vio dan Fika
adalah sahabatku dari dulu, dari kami mendaftar difakultas ini sampai sekarang,
semester 4. Aku sangat menyayangi dan menghormati mereka. Mereka adalah
keluarga kedua bagiku. Mereka selalu menghiburku saat aku susah, dan mereka
selalu membantuku saat aku membutuhkan bantuan. Tidak tahu sudah berapa sering
kami berantem, namun pada akhirnya kami kembali bersama. Karena kami
mendahulukan persahabatan diatas apapun.
“Sebenarnya aku ingin pergi, tapi
. . “
“Tapi kamu malas keluar dan kamu
ingin tinggal dirumah saja, nonton drama korea sambil ngemil. Lo mau bilang
itukan Nita” potong Fika. Aku tertawa, dia bahkan sudah hafal betul konteks
kalimatku. Mungkin terlalu sering kuucapkan kali yah!, hahaha.
“ketawa lagi! Ayolah Nita, sekali
ini saja. Kali aja disana kamu ketemu jodohmu. Lo nggak bosen apa jomblo terus?
“
“memangnya apa yang salah dengan
statusku yang jomblo, buktinya aku havefun. Nggak galau galau terus seperti
kalian”. Kataku, aku menyalakan tabku. Sudah sangat berdebu, karena terlalu
lama tidak digunakan.
Kalian mungkin tidak percaya, di
umurku yang ke 21 tahun ini. Aku sama sekali belum pernah pacaran. Jadi jangan
heran kalau sahabatku memanggilku dengan sebutan jomblo awet. Aku tidak perduli
dengan pacaran dan aku tidak percaya dengan cinta, aku tidak percaya dengan
pria manapun, aku tidak percaya dengan cinta yang dikatakan oleh pria manapun.
Bagiku cinta itu bullsit, cinta itu omong kosong. Itu penilaianku tentang
cinta.
“salahnya adalah kamu yang tidak
pernah memberikan kesempatan untuk orang lain membahagiakanmu. Kamu selalu
menolak mereka dengan alasan belum mau pacaran. Sebenarnya, lelaki seperti apa
yang kamu cari. ?” Vio merebut tab itu dari genggamanku, aku tahu ia melakukan
itu hanya agar aku bahagia. Aku tahu, mereka sebenarnya kasihan denganku.
Mereka kasihan dengan hidupku yang begitu membosankan. Tapi aku menikmati
hidupku, aku menikmati setiap hal yang ada didiriku. Apapun itu.
Kurebut kembali tab itu, Vio tak melawan.
“aku
tahu, aku hanya belum menemukan pria yang tepat saja” jawabku
“pria
yang seperti apa yang kamu tunggu? Seperti Adri? Pria tidak bertanggung jawab itu yang kamu
inginkan?” aku terdiam, yah memang dari dulu sampai seekarang dia selalu
menjadi alasanku menolak pria lain. Pria satu itu yang telah membuat aku
menutup rapat pintu hatiku untuk beberapa pria. Dia yang telah membuatku tidak percaya
dengan laki laki manapun didunia ini. Dia yang mengajarkan apa itu cinta, dan
dia pula yang mengajarkan bagaimana itu melepaskan.
“aku
tidak ingin membahasnya lagi” jawabku singkat, kubaringkan tubuhku dikasur
sambil memainkan tab. Ahh ralat, bukan memainkan tapi menggunakan. Lagi lagi
bayangan masa lalu itu muncul. Sial .
.................................................................................................................................................................
Flash Back
“Ibu kembalikan ponselku” pintaku sambil memohon, sengaja
aku membuat ekspresi yang mengibah.
“ayolah ibu,” aku tersenyum merayu
“tidak sampai kau bicara jujur dengan ibu, ayo katakan siapa
pria itu. Apa dia kekasihmu??” jawab ibuku menggoda. Ibuku ini memang sangat
senang menggodaku, ayolah Nita, kamukan hanya perlu menceritakan pria itu, kamu
tidak perlu segugup inikan.
“baiklah ibu, nanti kuceritakan. Tapi, kembalikan dulu
ponselku”
“ohoooo tidak, kali ini kamu tidak akan bisa menipu ibumu
ini. Cepat ceritakan, pria seperti apa yang bisa meyakinkan putri ibu yang
keras kepala ini”. Ibuku terus saja mendesak, bagaimana ini? Apa kuceritakan
saja semuanya, tapi bagaimana jika ibu tidak menyukainya.
“ayo cerita, siapa pria itu?” katanya
“Namanya Adri, Adrian. Kami sudah lama berteman dan kufikir
dia adalah pria yang baik. Dia bisa membuatku tertawa, dia selalu ada untukku,
dan yang pasti dia selalu menjagaku”
“entah sudah berapa sering aku menyuruhnya untuk pergi
menjauh, ibu sendiri tau aku benci dengan pria manapun, tapi dia beda ibu, dia
tidak sama dengan kebanyakan pria yang kukenal, dia tetap tinggal meskipun aku
sudah menyuruhnya pergi, dia tetap datang meski aku selallu menolaknya, dan
kufikir aku mulai menyukainya. Tidak, mungkin tidak sekedar menyukai, kurasa
aku mulai jatuh cinta padanya.”
..................................................................................................................................................................
“Baiklah Nita, apapun yang kami katakan tidak akan bisa mengubah
keputusanmukan, jadi lakukan saja yangg kamu anggap benar” kata Vio ketus
“ayolah guys, gue hanya malas pergi hari ini. “
“tidak masalah, toh lo memang nggak pernah mau setiap kami
ajak keluar. Jadi . . . “
“ok gue pergi! Demi kalian, tunggu disini, gue ganti pakaian dulu.” Begitulah sahabatku,
mereka selalu tahu cara menjebakku, denganmemasang wajah yang terkesan
terzalimi oleh perbuatanku, dan mau tidak mau aku harus ikut dengan mereka.
Baiklah, ini bukan pertama kalinya aku berada dalam situasi ini. Menyebalkan.
.....................................................................................................................................................
Tidak
lama, sampai juga kita disebuah Mall yang luasnya bahkan tidak bisa kutafsirkan,
sekitar 10 lantai. Dan disinilah kita, disebuah cafe sederhana yang
pengunjungnya lumayan banyak.
“baiklah, kita lihat menu makanan
mana yang enak dari cafe ini” Vio memang orangnya doyang makan, ukuran tubuhnya
bahkan tidak sesuai dengan porsi makanannya. Kalian tidak akan percaya seberapa
banyak yang dia makan dalam sehari, karena itu aib sahabatku maka aku tidak
akan menceritakannya. Balik lagi kemenu makanannya, makanan yang disediakan
cukup banyak namun hanya satu yang menjadi favoriteku, nasi goreng pedas. Tunggu sampai mereka
mencatat pesananku ini.
“kok nasi goreng lagi si Nit,
ayolah. Kita jauh jauhkesini agar bisa menikmati makanan enak, lo nggak bosen
apa makan nasi goreng mulu”
“ia, gue tau tapi masalahnya gue
hanya suka makanan itu. Kalian tidakperlu protes lah, masih untung gue mau
diajak kesini”
“yasudalah Fika, kalau Nita
maunya nasi goreng ya tidak masalah. Masa masalah begini diperdebatkan”
Fika terdiam, kadang aku merasa
sahabatku ini tidak mengerti dengan kondisiku. Aku bukanlah anak orang kaya
yang rela menghabiskan uang yang susah
payah dikumpulkan ibu untukku. Aku harus pintar pintar menabung, malu juga
kalau setiap minggu minta uang ke ibu
..............................................................................................................................
Kami menyantap makanan yang
diantar oleh pelayan cafe ini. Aku
menatap wajah sahabatku bergantian, mereka terlihat begitu menikmati hidup,
sama sekali tidak terlihat ada beban diwajah mereka, aku bingung bagaimana mereka
bisa semenikmati hidup, kenapa aku tidak bisa mencontoh mereka yang masa bodoh
akan hal hal yang tidak penting, dan kenapa aku tidak bisa melupakan masa lalu
yang selalu berhasil membuat air mataku menetes. Come on Nita, lo nggak boleh
mengingatnya lagi, sudah cukup sekarang.
Sejujurnya, aku tidak bisa
melupakannya, aku sadar, bahkan aku sangat sadar atas perlakuannya dulu, atas
penghianatannya, tapi kenapa hati aku yang bodoh ini masih saja berharap suatu
saat kami akan bertemu kembali. Ngayal gua.
“udah ngayaaalnya” sahut Fika
mengagetkanku
“siapa yang ngayal, orang gue
lagi makan”
“please deh Nita, kami ngajak lo
kemari itu untuk senang senang”
“ia, ia gue tahu kok. Udah deh,
mending kita pulang saja”
“eh entar dulu dong, belum juga
keliling sudah mau pulang. Nggak asik lo Nit” ketus Vio, mulai deh keluar muka
manyungnya
“emang kalian mau kemana lagi
sih”
“kita keliling saja dulu, siapa
tau dapat cowok keren”
“terserah kalian sajalah”
.....................................................................................................................................................dan
disini kami sekarang, berkeliling tidak jelas di dalam mall yang luasnya bukan
main. Betis aku rasanya sudah sangat pegal dan kedua sahabat gila gue ini sama
sekali tidak terlihat lelah.
“ayolah guys, sudah tiga jam kita
jalan. Kalian nggak capek apa” kataku menghelah
“baru juga tiga jam, kami bahkan
sering menghabiskan malam disini. Kebayang nggak tuh berapa lama kami jalan”
“tapi gue sudah capek, kita
pulang saja ya”
“bentar lagi deh Nit, kita kesana
sebentar habis itu kita pulang”
Kami menghampiri tempat duduk
yang terletak dipojok kiri, disampingnya ada sebuah taman kecil. Indah memang,
dan sahabat gue yang suka selfie ini tentunya akan senang berpose ditempat ini.
Aku duduk dikursi panjang itu, sebenarnya ada seorang pria yang juga duduk
disana, tapi tidak apalah, kaki aku sudah sangat pegal dan disini sudah tidak
ada kursi kosong.
“hhmm permisi mas, boleh sayang
duduk disini” tanyaku kepada pria yang sedang asyik memainkan ponselnya itu,
dia tidak menajawab. Apa dia tidak mendengarku, keperhatikan tubuhnya, aahh
ternyata dia memakai handset, pantas saja dia tidak mendengar. Langsung saja
kududukkan tubuhku dikursi itu.
“permisi mba, mba ada bolpoin?”
tanya pria yang ada disampingku, aku membuka tasku dan memberikan bolpoin itu
“ada, ini masss . . . “ mh my
god, aku syok, pria yang ada disampingku. Pria itu, pria yang selama ini coba
aku lupain. Sejenak aku terdiam, mencoba menstabilkan hatiku ini, dan sialnya
hati aku masih saja berdetak kencang untuk pria brengsek ini. Aku memandang
wajah itu, wajah yang dulu selalu berhasil menenangkanku, wajah yang selalu aku
mimpikan dulu, dan wajah yang sempat aku harapkan akan melihatnya saat aku
terbangun dari tidurku dipagi hari.
Aku menatap mata itu, mata yang
dulu selalu berhasil meyakinkanku kalau dia hanyalah milikku.
“Ardi” gumamku, dia menatapku
dengan mata tajamnya. Aku melihat ada duka dimata itu. Sudah sangat lama sejak
terakhir aku melihatnya,dan yah dia tetap saja tampan.
“Nita, ahh ehm kamu apa kabar”
tanya nya, aku tidak menjawab, sontak aku berdiri dan melangkah untuk pergi,
namun adri menahanku, ia menarik tanganku hinggah mau tidak mau tubuhku
berbalik 90 derajat.
“plis, kamu dengerin aku dulu
Nit”
“apa lagi yang harus aku
dengarkan Adri. Kamu dan aku sudah selesai, jadi plis kamu lepasin tangan aku”
“siapa yang bilang kita sudah
selesai, itu kamu yang bilangkan. Aku tidak pernah mengiyakan hal itu. Dan aku
masih tidak mengerti kenapa kamu tiba tiba menghilang. Aku mencari kamu kemana
mana”
“hah, mencariku kemana mana? Kamu
mencariku kemana saja? Sejauh mana kamu mencari? Dan yah, memang benar , aku
yang mengatakan kita telah berakhir, toh nyatanya kita memang sudah berakhir.
Kamukan yang dulu tidak pernah mengakui aku sebagai pacar kamu, kamukan yang
lebih dulu tertarik pada Tania, wanita yang selalu kamu puji itu didepanku.”
“tapi tidak seharusnya kamu pergi tanpa memberikan penjelasan apa apa
padaku, aku sepperti cowok pengecut yang tidak menngerti keadaan, yang terus
bertanya seperti orang bodoh kenapa kamu pergi gitu aja, tanpa penjelasan”
“ayolah Dri, harus apa aku
menjelaskan semuanya lagi, harus aku mengingat masalalu yang susah payah aku
lupain. Harus aku menggali kembali luka yang kau sebabkan. Aku tidak ingin lagi
mengingatnya Adri, sudah cukup. Dan jangan pernah muncul didepanku.”
Aku melangkah pergi dari tempat
itu, sakit sekali rasanya. Air mata ini kembali menetes untuk pria brengsek
sepertinya. Pria yang telah membuatku takut membuka hati.
Komentar
Posting Komentar